Registrasi

Form Registrasi
id $id_camber"?>
Username
Password
>
$msg1

Kamis, 19 Mei 2011

KONTRIBUSI SEKOLAH SWASTA

Posted by www.hsanpulut.com on 07.16 | No comments

KONTRIBUSI SEKOLAH SWASTA
BAGI PENDIDIKAN DI INDONESIA

Oleh: Muh. Hasan Masykur

Abstrak: Masyarakat mempunyai peranan penting dalam penyelenggaraan pendidikan, pengembangan satuan pendidikan, dan penentuan kebijaksanaan Pemerintah di Indonesia. Secara umum, sumbangan sekolah swasta terhadap pendidikan adalah besar sekali; walaupun demikian, kontribusi ini belum optimal. Masalah yang dapat diidentifikasi dalam pengembangan sekolah swasta adalah 1) peningkatan jumlah sekolah swasta seringkali tidak disertai dengan peningkatan kualitas; 2) sekolah swasta memiliki masalah manajerial yang lebih bervariasi; 3) rendahnya kualitas manajemen dan output dari sebagian besar sekolah swasta; 4) job description dari supervisi pendidikan belum dideskripsikan secara jelas. Berbagai upaya dalam peningkatan kualitas sekolah swasta yang mungkin dilakukan antara lain 1) pendirian atau pembangunan sekolah swasta seharusnya berdasarkan "kebutuhan" masyarakat setempat dan bukan pada "keinginan"; 2) kualitas manajemen sekolah swasta juga perlu ditingkatkan melalui peningkatan kompetensi dan kualitas guru, peningkatan kualitas sarana/prasarana pendidikan, peningkatan perencanaan pendidikan, keseimbangan anggaran antara sekolah negeri dan sekolah swasta yang proporsional, dan "job description" dari supervisi pendidikan perlu dideskripsikan lebih jelas.
Kata kunci: kualitas sekolah; pemberdayaan sekolah; pengelolaan sekolah; peranan sekolah swasta; dan peranan masyarakat.


1. Pendahuluan
Undang Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional menetapkan bahwa penyelenggaraan dan pengembangan sistem pendidikan nasional merupakan tanggung jawab bersama antara keluarga, masyarakat, dan Pemerintah. Dengan demikian, masyarakat mempunyai peranan yang penting dalam penyelenggaraan pendidikan, pengembangan satuan pendidikan, dan penentuan kebijaksanaan Pemerintah (melalui Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional) di Indonesia. Peran serta masyarakat mempunyai fungsi ikut memelihara, menumbuhkan, meningkatkan, dan mengembangkan pendidikan nasional dan mempunyai tujuan untuk mendayagunakan kemampuan yang ada di masyarakat bagi penyelenggaraan pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. Bentuk peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan dapat dirinci menjadi beberapa jenis: (1) pendirian dan penyelenggaraan satuan pendidikan pada jalur sekolah atau jalur pendidikan luar sekolah, pada semua jenis sekolah kecuali sekolah kedinasan, dan pada semua jenjang pendidikan di jalur sekolah; (2) pengadaan dan pemberian bantuan tenaga kependidikan untuk melaksanakan atau membantu pelaksanaan pengajaran, pembimbingan, dan bantuan untuk peserta didik; (3) pengadaan dan pemberian bantuan tenaga ahli untuk membantu pelaksanaan kegiatan belajar-mengajar dan/atau penelitian dan pengembangan; (4) pengadaan dan atau penyelenggaraan program pendidikan yang belum diadakan oleh Pemerintah untuk menunjang pendidikan nasional; (5) pengadaan dana dan pemberian bantuan yang dapat berupa wakaf, hibah, sumbangan, pinjaman, beasiswa; (6) pengadaan dan pemberian bantuan ruangan, gedung, dan tanah untuk melaksanakan kegiatan belajar-mengajar; (7) pengadaan dan pemberian bantuan buku pelajaran dan peralatan pendidikan untuk melaksanakan kegiatan belajar-mengajar; (8) pemberian kesempatan untuk magang dan atau latihan kerja; (9) pemberian bantuan manajemen bagi penyelenggaraan satuan pendidikan dan pengembangan pendidikan nasional; (10) pemberian pemikiran dan pertimbangan berkenaan dengan penentuan kebijaksanaan dan atau penyelenggaraan pendidikan nasional; (11) pemberian bantuan dan kerja sama dalam kegiatan penelitian dan pengembangan; dan (12) keikutsertaan dalam program pendidikan dan atau penelitian yang diselenggarakan oleh Pemerintah di dalam dan/atau di luar negeri.
Peranserta masyarakat ditegaskan pula pada PP No. 39 Tahun 1992, bab VI, pasal 8, yang menjelaskan bahwa pemerintah menyebarluaskan informasi tentang kesempatan yang seluas-luasnya bagi masyarakat untuk ikut berperanserta dalam penyelenggaraan dan pengembangan pendidikan. Selanjutnya pemerintah dan masyarakat menciptakan peluang yang lebih besar untuk meningkatkan peranserta masyarakat dalam sistem pendidikan nasional.
2. Kajian Teori
2.1. Manajemen Pendidikan dan Permasalahannya
Sebelum otonomi daerah (Otoda) diberlakukan, Indonesia menerapkan sistem pendidikan yang sentralistik dan sebagai akibatnya pemerintah di tingkat pusat (Jakarta) memiliki power yang sangat kuat untuk mengatur seluruh kegiatan pendidikan di seluruh negeri ini. Bagaimanapun, beberapa kesulitan ditemui akibat dari kenyataan bahwa tidak semua kegiatan pendidikan di bawah satu atap, yaitu Departemen Pendidikan Nasional (Thomas and Soediyarto, 1980: 9). Pembukaan UUD 1945 menyatakan bahwa satu dari empat tujuan kemerdekaan adalah meningkatkan kehidupan intelektual. Tujuan ini selanjutnya dirumuskan pada Bab XIII Pendidikan, Pasal 31, ayat 2, yang berbunyi:
"Pemerintah menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional yang akan diatur dengan Undang-undang"
Konstitusi ini menetapkan bahwa Depdiknas (dahulu disebut Depdikbud) yang bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan suatu sistem pendidikan nasional yang diterapkan untuk semua jenis dan jenjang pendidikan. Karena berbagai faktor, pelaksanaan pendidikan di seluruh negeri ini dilaksanakan tidak hanya oleh Depdiknas, tetapi juga oleh masyarakat (misalnya melalui organisasi-organisasi Muhammadiyah, Taman Siswa, atau Atmajaya), atau departemen lainnya (misalnya Depag, Depsos, Depkes, Deptan, Dephankam, dsb).
Karena sangat bervariasinya perbedaan kebudayaan, bahasa, kesulitan transport, dan komunikasi, serta ketidakseimbangan penduduk, Indonesia membutuhkan suatu simbol persatuan nasional. Keadaan ini menciptakan suatu sistem pendidikan nasional yang sentralistik dimana sekolah-sekolah sangat tergantung kepada pemerintahan pusat. Namun demikian, pemerintah pusat tidak cukup memiliki kepemimpinan untuk menyelesaikan permasalahan manajemen pendidikan. Satu di antara permasalahan ini adalah permasalahan kemitraan antara sekolah negeri dan sekolah swasta. Permasalahan ini sudah diidentifikasi oleh Beeby pada awal 1970-an (Beeby, 1979).
2.2. Fakta tentang Pengelolaan Sekolah di Depdiknas
Pada dasarnya pertanggungjawaban manajemen dan kontrol sekolah di Indonesia dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu sekolah negeri dan sekolah swasta. Jenis pertama, sekolah negeri adalah sekolah yang sepenuhnya dikelola dan dikontrol oleh pemerintah; sebaliknya jenis kedua, sekolah swasta adalah sekolah yang hanya dalam hal-hal tertentu mendapat bantuan dari pemerintah (misalnya guru yang diperbantukan atau gaji guru, dsb) sehingga sekolah swasta ini tidak sepenuhnya ada dalam pengelolaan serta kontrol pemerintah. Secara kuantitatif, serta berdasarkan jenjang pendidikan, kontribusi sekolah swasta pada pembangunan pendidikan di Indonesia cukup bervariasi. Pada jenjang pendidikan prasekolah, kontribusi sekolah swasta sangat besar. Dari 1997/1998 s.d. 1999/2000, ada sedikit penurunan partisipasi (walaupun tidak signifikan) dari sekolah swasta akan tetapi dapat dikatakan bahwa hampir seluruh taman kanak-kanak (TK) diselenggarakan oleh lembaga swasta (lebih dari 99%). Sementara pada jenjang sekolah dasar (SD), SD negeri sangat mendominasi keberadaan SD. Keadaan ini merupakan salah satu sukses dari pelaksanaan Instruksi Presiden dalam bentuk "SD Inpres" yang dimulai tahun 1973. Keberhasilan pelaksanaan Instruksi Presiden ini membawa sukses pelaksanaan wajib belajar SD pula yang pada akhirnya membuka peluang bagi wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun. Selanjutnya, pada pendidikan menengah, di sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP) terdapat kecenderungan dimana pada kurun waktu yang sama ada sedikit penurunan pada partisipasi sekolah swasta sehingga hampir terdapat keseimbangan partisipasi antara sekolah swasta dan sekolah negeri. Di sekolah menengah terdapat kecenderungan yang mirip dengan kecenderungan di SLTP walaupun partisipasi sekolah swasta masih selalu jauh lebih besar daripada partisipasi sekolah negeri (sekitar 70%). Di lembaga pendidikan tinggi (PT) terdapat kecenderungan yang berbeda dengan kecenderungan yang ada di jenjang pendidikan lainnya, di mana di jenjang PT, partisipasi lembaga swasta terus meningkat dari 1997/1998 ke 1999/2000 dan selalu mendominasi penyelenggaraan PT (sekitar 95%, lihat Tabel 1).
Tabel 1
Jumlah Sekolah/PT Negeri dan Swasta
dari 1997/1998 s.d. 1999/2000

1997/1998
1998/1999
1999/2000
Jenjang
Sekolah
Negeri
Swasta
% Swasta
Negeri
Swasta
% Swasta
Negeri
Swasta
% Swasta
TK
168
40.395
99,59
212
40.669
99,48
225
41.092
99,46
SD
140.661
10.260
6,80
140.770
10.272
60,80
140.316
10.296
6,84
SLTP
9.841
10.936
52,64
10.374
10.586
50,51
10.495
10.371
49,70
SM
3.481
8.630
71,26
3.556
8.453
70,39
3.611
8.458
70,08
PT
77
1.365
94,66
77
1.449
94,95
76
1.557
95,35
Sumber: Pusat Statistik Pendidikan, Balitbang Depdiknas, 2001
Secara kualitatif, belum ada penelitian yang khusus mengungkap tentang sejauh mana kontribusi lembaga swasta terhadap pendidikan di Indonesia. Namun demikian, secara kasus, untuk pendidikan menengah khususnya di Jawa Tengah dan DKI Jakarta diperoleh informasi bahwa beberapa sekolah menengah swasta memiliki kualitas yang sama atau lebih baik dari sekolah menengah negeri akan tetapi secara keseluruhan kualitas sekolah menengah swasta lebih rendah dari kualitas sekolah menengah negeri (lihat Chamidi, 1996, 342). Secara umum dapat digeneralisasikan bahwa sumbangan sekolah swasta terhadap pendidikan adalah besar sekali walaupun kontribusi ini belum optimal karena sangat bervariasinya kualitas sekolah swasta (Sigit, 1992, 24; Suryadi and Tilaar, 1994, 226; Nawawi dan Martini, 1994, 373).
Jika jumlah siswa atau mahasiswa dapat digunakan sebagai suatu indikator tidak langsung terhadap kualitas suatu institusi pendidikan maka Tabel 1 dan 2 dapat menjelaskan distribusi kualitas dari masing-masing lembaga PT swasta dibandingkan dengan PT negeri. Pada tahun 1999/2000 jumlah lembaga PT negeri yang sebesar 76 dan dengan jumlah mahasiswa 1.467.867 sementara jumlah lembaga PT swasta yang sebanyak 1.557 dengan jumlah mahasiswa sebesar 1.658.440 maka dapat diperkirakan bahwa perbandingan jumlah lembaga PT swasta dan mahasiswa PT swasta adalah kurang normal secara distribusi statistik, di mana beberapa lembaga PT swasta dengan kualitas yang sangat tinggi memiliki jumlah mahasiswa yang relatif sangat banyak sebaliknya jauh lebih banyak lembaga PT swasta dengan kualitas yang rendah memiliki sedikit mahasiswa.
Apa yang dibahas di atas diperkirakan cukup valid untuk digeneralisasikan terhadap perbandingan kualitas antara sekolah/PT negeri dengan sekolah/PT swasta pada umumnya. Jika perkiraan ini dapat dianggap benar maka cukup beralasan untuk mengatakan bahwa sekarang ini adalah saat yang sangat tepat dan strategis untuk lebih memberdayakan peranan sekolah swasta dan masyarakat dalam pelaksanaan pendidikan secara keseluruhan.
2.3. Fakta tentang Pengelolaan Madrasah di Departemen Agama
Jenjang-jenjang madrasah yang dikelola oleh Departemen Agama (Depag) sangat mirip dengan sekolah-sekolah yang dikelola oleh Depdiknas. Walaupun madrasah memiliki karakteristik dan struktur seperti karakteristik sekolah pada umumnya, madrasah tidak disupervisi oleh Depdiknas tetapi disupervisi oleh Depag sebagaimana ditegaskan oleh Keppres No. 34 (1972). Selanjutnya, Keppres tersebut bersama dengan Peraturan Pelaksanaannya "Instruksi Presiden" No 15 (1972) memberikan seluruh kewenangan kepada Depdiknas untuk penyelenggaraan pendidikan serta pelatihan di sekolah negeri maupun swasta termasuk pengembangan program-program pendidikannya (Beeby, 1979, 231). Akan tetapi pada kenyataannya, Depdiknas hanya memiliki kontrol yang terbatas terhadap sekolah dan bahkan sangat sedikit (kalau dikatakan tidak ada) terhadap madrasah.
Seperti halnya pengelolaan sekolah di Depdiknas, pada dasarnya pertanggungjawaban manajemen dan kontrol madrasah juga dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu madrasah negeri dan madrasah swasta. Jenis pertama, madrasah negeri, adalah sekolah yang sepenuhnya dikelola dan dikontrol oleh pemerintah (dalam hal ini Departemen Agama); sebaliknya jenis kedua, madrasah swasta adalah madrasah yang hanya dalam hal-hal tertentu saja mendapat bantuan dari pemerintah (misalnya guru yang diperbantukan atau gaji guru, dsb) sehingga madrasah swasta ini tidak sepenuhnya ada dalam pengelolaan serta kontrol pemerintah. Secara kuantitatif, serta berdasarkan jenjang pendidikan, kontribusi madrasah swasta pada pembangunan pendidikan di Indonesia juga cukup bervariasi. Pada jenjang pendidikan prasekolah, kontribusi madrasah swasta sangat besar. Walaupun data dari 1997/98 s.d. 1999/2000 tidak lengkap (hanya tersedia data untuk tahun 1999/2000 saja) tetapi dapat diperkirakan bahwa partisipasi masyarakat/swasta adalah sangat besar serta dapat dikatakan hampir seluruh RA/BA diselenggarakan oleh lembaga swasta (lihat Tabel 2).
Sementara itu, dalam kurun waktu yang sama pada jenjang madrasah ibtidaiyah (MI), MI swasta sangat mendominasi (lebih dari 93%). Walaupun ada kecenderungan bahwa partisipasi swasta sedikit menurun dalam kurun waktu tersebut tetapi penurunan ini tidak signifikan. Selanjutnya, pada pendidikan menengah, di
Tabel: 2
Jumlah Madrasah/PTAI Negeri dan Swasta
dari 1997/1998 s/d 1999/2000
Jenjang Madrasah
1997/1998
1998/1999
1999/2000
Negeri
Swasta
% Swasta
Negeri
Swasta
% Swasta
Negeri
Swasta
% Swasta
RA/BA
0
11.566
100,00
0
11.566
100,00
0
11.566
100,00
MI
1.075
23.437
95,61
1426
23. 171
94,20
1.454
20.000
93,22
MTs
1.141
8.649
88,35
1.131
8639
88,43
1.1781
8.682
88,05
MA
558
2.977
84,21
597
3.027
83,53
601
3.001
83,31
PTAI
47
251
84,23
47
251
84,23
47
251
84,23
                                    Sumber: Pusat Statistik Pendidikan, Balitbang Depdiknas, 2001 (Bahan tidak dipublikasikan)
madrasah tsanawiyah (MTs) terdapat kecenderungan di mana pada kurun waktu yang sama mengalami penurunan yang berfluktuasi dan yang tidak signifikan. Pada jenjang sekolah menengah terdapat kecenderungan yang sedikit kontradiktif dengan kecenderungan di MTs walaupun partisipasi madrasah swasta masih selalu jauh lebih besar daripada partisipasi madrasah negeri (sekitar 83%). Pada lembaga pendidikan tinggi agama islam (PTAI) terdapat kecenderungan yang berbeda dengan kecenderungan yang ada di jenjang pendidikan lainnya, dimana jumlah lembaga PTAI baik untuk PTAIN maupun PTAIS tidak mengalami perubahan jumlah dari 199719/98 ke 1999/2000 dan selalu mendominasi penyelenggaraan PTAI (84,23%; lihat Tabel 2).
3. Hasil dan Bahasan
3.1. Analisis Kecenderungan di Lapangan
3.1.1. Analisis Kecenderungan Pengelolaan Sekolah di Lapangan
Pada jenjang pendidikan prasekolah, dari 1997/1998 sampai 1999/2000 pada lembaga TK swasta terlihat jumlah lembaga dan murid TK swasta walaupun berfluktuasi cenderung untuk menurun (lihat Tabel 1), tetapi jumlah guru cenderung untuk meningkat walaupun juga ada fluktuasi (lihat Tabel 3). Sebaliknya, pada lembaga TK negeri terdapat konsistensi kecenderungan antara jumlah lembaga, jumlah murid, serta jumlah guru/kepsek di mana ketiga variabel ini cenderung meningkat, bahkan jumlah guru/kepsek meningkat relatif lebih tajam. Fakta ini mungkin dapat menunjukkan bahwa produksi guru TK relatif lebih besar pertumbuhannya dibandingkan dengan pembangunan institusi TK-nya. Selain itu, terlihat pula bahwa pertumbuhan (delta) guru TK ini lebih banyak didistribusikan ke lembaga TK negeri daripada ke lembaga TK swasta.
Pada jenjang sekolah dasar (SD), pada kurun waktu yang sama, jumlah lembaga SD negeri walaupun ada fluktuasi cenderung untuk menurun tetapi jumlah lembaga SD swasta cenderung untuk meningkat walaupun tidak secara signifikan (lihat Tabel 1). Jumlah siswa SD negeri walaupun ada fluktuasi cenderung untuk menurun tetapi jumlah siswa SD swasta cenderung untuk menurun walaupun ada fluktuasi (lihat Tabel 3). Jumlah guru SD negeri walaupun tidak signifikan cenderung untuk menurun tetapi jumlah guru SD swasta cenderung untuk meningkat walaupun ada fluktuasi (lihat Tabel 3).
Pada jenjang sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP), pada kurun waktu yang sama, jumlah lembaga SLTP negeri secara konsisten cenderung untuk menurun tetapi jumlah lembaga SLTP swasta secara konsisten cenderung untuk menurun walaupun tidak secara signifikan. Jumlah siswa SLTP negeri secara konsisten cenderung untuk meningkat walaupun tidak signifikan tetapi jumlah siswa SLTP swasta cenderung untuk menurun secara konsisten. Jumlah guru dan kepala sekolah SLTP negeri walaupun tidak signifikan cenderung untuk meningkat tetapi jumlah guru SD swasta cenderung untuk menurun secara konsisten.
Tabel: 3
Jumlah Siswa/Mahasiswa Sekolah/PT Negeri dan Swasta
dari 1997/1998 s.d. 1999/2000
Jenjang
Sekolah
1997/1998
1998/1999
1999/2000
Negeri
Swasta
% Swasta
Negeri
Swasta
% Swasta
Negeri
Swasta
% Swasta
TK
12.192
1.675.273
99,28
14.934
1569.950
99,06
16.745
1.596.016
98,96
SD
23..804..633
1.862..945
7,26
23..841.741
1.846.152
7,19
23.757.585
1.857.251
7,25
SLTP
5.163.628
2.432.758
32,03
5.258.460
2.306.168
30,49
5.392.172
2.207.921
29,05
SM
2.109.834
2.428.216
53,51
2.219.254
2.469.321
52,67
2.267.391
2.511.534
52,55
PT
874.972
1.507.830
93,28
1.171.511
1.526.464
56,58
1.467.867
1.658.440
53,05
                    Sumber: Pusat Statistik Pendidikan, Balitbang Depdiknas, 2001 (Bahan tidak dipublikasikan)
Pada jenjang sekolah menengah (SM), dari 1997/1998 sampai 1999/2000, jumlah lembaga SM negeri secara konsisten cenderung untuk meningkat tetapi jumlah lembaga SM swasta cenderung untuk menurun walaupun ada fluktuasi. Jumlah siswa SM negeri dan swasta secara konsisten cenderung untuk meningkat. Jumlah guru SM negeri secara konsisten cenderung untuk meningkat tetapi jumlah guru SM swasta cenderung untuk meningkat walaupun ada fluktuasi.
Pada jenjang pendidikan tinggi (PT), jumlah lembaga PT swasta cenderung untuk meningkat terus dari 1997/1998 ke 1999/2000, sebaliknya dapat dikatakan tidak ada pertumbuhan dalam jumlah lembaga PT negeri (dari 1998/1999 ke 1999/2000 terdapat penurunan dari 77 PT menjadi 76 PT karena Timor Timur bukan lagi bagian
Tabel: 4
Jumlah Kepala Sekolah/Rektor dan Guru/Dosen Sekolah/PT Negeri dan Swasta
dari 1997/1998 s.d. 1999/2000
Jenjang Sekolah
1997/1998
1998/1999
1999/2000
Negeri
Swasta
% Swasta
Negeri
Swasta
% Swasta
Negeri
Swasta
% Swasta
TK
801
94.327
99,16
959
89.963
98,95
1.220
94.466
98,72
SD
1.071.985
86.109
7,44
1.067.861
84.675
7,35
1.054.859
86.309
7,56
SLTP
269.042
165.557
38,09
291.216
161.228
35,63
294.210
146.964
33,31
SM
143.892
193.611
57,37
149.061
194.985
56,67
152.848
193.935
55,92
PT
49.523
132.021
72,72
50.524
145.579
74,24
51.933
141.865
73,74
Sumber: Pusat Statistik Pendidikan, Balitbang Depdiknas, 2001 (Bahan tidak dipublikasikan)
dari Indonesia, lihat pula Tabel 1). Jumlah mahasiswa PT mengalami peningkatan, baik untuk PTN maupun PTS, walaupun terlihat bahwa pertumbuhan jumlah mahasiswa pada PTN lebih tajam (besar) dari pada pertumbuhan jumlah mahasiswa PTS. Sementara itu, jumlah dosen dan rektor PTN cenderung untuk meningkat secara konsisten, sementara jumlah dosen dan rektor PTS walaupun mengalami fluktuasi cenderung untuk meningkat, sebaliknya jumlah dosen dan rektor PTN cenderung untuk meningkat secara konsisten.
3.1.2. Analisis Kecenderungan Perkembangan Madrasah di Lapangan
Pada jenjang madrasah ibtidaiyah (MI), pada kurun waktu yang sama, jumlah lembaga MI negeri cenderung selalu meningkat tetapi jumlah lembaga MI swasta mengalami fluktuasi serta cenderung sedikit meningkat walaupun tidak secara signifikan (lihat Tabel 2). Jumlah siswa MI negeri cenderung untuk terus meningkat tetapi jumlah siswa MI swasta walaupun mengalami fluktuasi cenderung untuk menurun. Jumlah guru MI negeri cenderung untuk terus meningkat bahkan terjadi peningkatan yang sangat tajam dari 1998/1999 ke 1999/2000 yaitu sebesar 64% sebaliknya jumlah guru MI swasta cenderung untuk terus menurun, penurunan yang cukup besar terjadi dari 1998/1999 ke 1999/2000 yaitu sebesar 23%.
Pada jenjang MTs, pada kurun waktu yang sama, jumlah lembaga MTs negeri mengalami sedikit fluktuasi serta cenderung untuk meningkat (walaupun tidak signifikan) tetapi jumlah lembaga SLTP swasta memiliki pola yang agak mirip dengan pola MTs negeri dimana telah terjadi fluktuasi jumlah lembaga secara konsisten cenderung untuk meningkat walaupun tidak secara signifikan. Jumlah siswa MTs negeri secara konsisten cenderung untuk meningkat walaupun tidak signifikan tetapi jumlah siswa MTs swasta cenderung untuk menurun secara konsisten. Jumlah guru dan kepala sekolah MTs negeri mengalami fluktuasi serta cenderung untuk menurun walaupun tidak signifikan tetapi jumlah guru MI swasta cenderung untuk meningkat secara konsisten.
Pada jenjang madrasah aliyah (MA), dari 1997/1998 sampai 1999/2000, jumlah lembaga MA negeri secara konsisten cenderung untuk meningkat walaupun kurang signifikan sementara jumlah lembaga MA swasta mengalami fluktuasi serta cenderung untuk meningkat walaupun kurang signifikan. Jumlah murid MA baik negeri maupun swasta mengalami perkembangan yang pantas untuk dicermati. Jumlah siswa MA negeri dan swasta masing-masing cenderung untuk meningkat walaupun mengalami fluktuasi. Peningkatan yang perlu diteliti lebih lanjut terjadi dari 1998/1999 ke 1999/2000 dimana MA negeri meningkat sebesar 225% sementara MA swasta meningkat sebesar 226% (lihat Tabel 5). Jumlah guru MA negeri mengalami fluktuasi serta cenderung untuk menurun, penurunan ini cukup signifikan (37%) tetapi sebaliknya jumlah guru MA swasta cenderung untuk meningkat secara konsisten, peningkatan sebesar 17% terjadi dari 1998/1999 ke 1999/2000.
Pada jenjang pendidikan tinggi agama Islam (PTAI), jumlah lembaga PTAI negeri maupun swasta cenderung untuk tidak mengalami perubahan dari 1997/1998 ke 1999/2000 (lihat Tabel 2). Sementara itu jumlah dosen dan rektor PTAIN cenderung untuk meningkat secara konsisten, sementara jumlah dosen dan rektor PTAIS cenderung untuk sedikit mengalami peningkatan walaupun dari 1998/1999 ke 1999/2000 relatif stabil.
Tabel 5
Jumlah Murid/Mahasiswa Madrasah/PTAI Negeri dan Swasta
dari 1997/1998 s.d. 1999/2000
Jenjang Madrasah
1997/1998
1998/1999
1999/2000
Negeri
Swasta
% Swasta
Negeri
Swasta
% Swasta
Negeri
Swasta
% Swasta
RA/BA
*
*
*
*
*
*
0
504.173
100,00
MI
205.768
3.305.356
94,14
260.460
2.583.244
90,84
269.841
2.624.128
90,68
MTs
442.235
1.345.729
75,27
443.559
1.343.194
75,18
492.937
1.320.198
72,81
MA
80.906
104.597
56,39
71.076
92.444
56,53
230.758
301.054
56,61
PTAI
*
*
*
*
*
*
*
*
*
Catatan: * Data tidak tersedia pada saat penulisan artikel ini
Sumber: Pusat Statistik Pendidikan, Balitbang Depdiknas, 2001 (Bahan tidak dipublikasikan)
Tabel 6
Jumlah Kepala Madrasah/Rektor dan Guru/Dosen Madrasah/PTAIN dan PTAIS
dari 1997/1998 s.d. 1999/2000
Jenjang Madrasah
1997/1998
1998/1999
1999/2000
Negeri
Swasta
% Swasta
Negeri
Swasta
% Swasta
Negeri
Swasta
% Swasta
RA/BA
*
*
*
*
*
*
0
22.282
100,00
MI
9.783
173.908
94,67
9.935
171.683
94,53
16.004
131.753
89,14
MTs
30.413
113.764
78,91
30.554
121.300
79,88
30.181
134.103
81,63
MA
24.026
34.867
59,20
24.256
36.903
60,34
15.385
43.057
73,67
PTAI
9.806
12.308
55,66
10.298
12.817
55,45
10.404
12.816
55,19
Catatan: * Data tidak tersedia pada saat penulisan artikel ini
Sumber: Pusat Statistik Pendidikan, Balitbang Depdiknas, 2001 (Bahan tidak dipublikasikan)
Tabel 7
Guru yang Layak Mengajar di Beberapa Jenjang Madrasah Tahun 1999/2000
Jenjang
Kualifi-
Negeri
Swasta
Negeri+
Keterangan
Madrasah
kasi
Nominal
%
Nominal
%
Swasta

RA/BA
Layak
*
*
*
*
*
Data RA/BA PTAI tak tersedia dengan lengkap pada saat penulisan artikel ini.

Jumlah
*
*
*
*
*
MI
Layak
10.875
67,78
43.515
33,03
54.390

Jumlah
16.044
100,00
131.753
100,00
147.797
MTs
Layak
25.555
84,67
78.880
58,82
104.435

Jumlah
30.181
100,00
134.103
100,00
164.284
MA
Layak
13.060
84,89
28.025
65,09
41.085

Jumlah
15.385
100,00
43.057
100,00
58.442
PTAI
Layak
*
*
*
*
*

Jumlah
*
*
*
*
*
Sumber: Pusat Statistik Pendidikan, Balitbang Depdiknas, 2001
              (Bahan tidak dipublikasikan)
3.2. Permasalahan
Besarnya kontribusi sekolah swasta, yang juga berarti besarnya partisipasi masyarakat merupakan sumbangan yang sangat berarti bagi pengembangan pendidikan di Indonesia. Sangat bervariasinya kualitas kontribusi sekolah swasta, pada umumnya lebih rendah dari rata-rata kualitas sekolah negeri, terasa belum memberikan hasil yang optimal bagi pengembangan pendidikan. Karena itu, upaya untuk lebih memberdayakan kemampuan sekolah swasta serta meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan pendidikan perlu segera dilakukan agar dapat dicapai perkembangan pendidikan seperti yang diharapkan.
Beberapa masalah lain yang dapat diidentifikasi dalam pengembangan sekolah swasta pada saat ini antara lain. Pertama, peningkatan jumlah sekolah swasta seringkali tidak disertai dengan peningkatan kualitas sekolah. Seringkali, sekolah swasta dibangun berdasarkan lebih kepada "keinginan" daripada "keperluan" masyarakat setempat, selain itu pendistribusian sekolah swasta juga kurang tepat. Sebagai contoh, pada saat SPG dalam proses akan dihapus, 8 dari 21 SMPS yang ada di Lampung mendapat izin (dari pusat) untuk beroperasi sebagai SMPS. Hal ini jelas tidak memperlihatkan distribusi yang tepat karena 11 SMPS lainnya tersebar di seluruh propinsi lainnya (11 SMPS ini dahulunya adalah SPG yang berubah fungsi menjadi SMPS), selain Lampung.
Kedua, sekolah swasta memiliki masalah manajerial yang lebih bervariasi dibandingkan dengan masalah manajerial yang dihadapi oleh sekolah negeri. Sebagai contoh, sebelum desentralisasi pendidikan diterapkan, sekolah menengah negeri hanya mempertanggungjawabkan kinerjanya pada pemerintah saja (dalam hal ini "Kakanwil") sebaliknya sekolah menengah swasta mempertanggungjawabkan kinerjanya tidak hanya pada pemerintah saja (dalam hal ini "Kakanwil") tetapi juga kepada lembaga/yayasan yang mendirikan sekolah menengah tersebut (Sigit, 1992).
Ketiga, rendahnya kualitas manajemen dari sebagian besar sekolah swasta dan output pendidikannya disebabkan oleh beberapa faktor antara lain: a) beberapa sekolah swasta tidak berfungsi sebagaimana seharusnya seperti yang diharapkan masyarakat sekitarnya; b) kompetensi dan kualitas guru cukup bervariasi di jenjang pendidikan dasar. Data terbaru dari Pusat Statistik Pendidikan Balitbang Depdiknas (2001) menginformasikan bahwa jumlah guru SD negeri yang memiliki kelayakan mengajar sedikit lebih banyak daripada guru SD swasta sebaliknya jumlah guru SLTP negeri yang memiliki kelayakan mengajar lebih sedikit (walaupun tidak signifikan) daripada guru SLTP swasta seperti terlihat pada Tabel 8. Hal ini juga dapat dilihat dengan membandingkan antara Tabel 5 dan Tabel 7 untuk madrasah. Walaupun data yang disajikan hanya data SD dan SLTP, informasi yang diperoleh dapat digunakan untuk memperkirakan bagaimana kontribusi sekolah swasta untuk pendidikan pada umumnya. Upaya pemerintah untuk meningkatkan kompetensi dan kualitas guru lebih diprioritaskan kepada sekolah negeri walaupun pada kenyataannya jumlah guru sekolah swasta jauh lebih banyak daripada jumlah guru sekolah negeri (lihat pula Suryadi dan Tilaar, 1994: 232); c) rendahnya kualitas sarana/prasarana di sebagian besar sekolah swasta. Salah satu penyebab hal ini adalah rendahnya anggaran pendidikan untuk sekolah swasta. Dibandingkan dengan sekolah negeri, sekolah swasta menerima jauh lebih sedikit anggaran pendidikan dari pemerintah karena seluruh sekolah swasta hanya menerima sekitar 10% saja dari seluruh anggaran pendidikan nasional (Silaban et al., 1993, XIX).
Keempat, ada beberapa bagian dari administrasi pendidikan yang perlu diperbaiki, misalnya: job description dari supervisi pendidikan belum dideskripsikan secara jelas. Dalam praktik sehari-hari, supervisi pendidikan hanya dipandang sebagai tugas tambahan dari kepala unit kerja, dan hal ini akan menghasilkan kinerja supervisi pendidikan yang tidak efisien. Dengan tidak adanya minimal requirement bagi kepala sekolah (khususnya dalam hal latar belakang pendidikan dan pengalaman di bidang admisnistrasi dan supervisi pendidikan), akan dihasilkan kinerja supervisi pendidikan yang tidak efisien (Nawawi dan Martini, 1994, 288-289).
Tabel 8
Guru yang Layak Mengajar di Beberapa Jenjang Sekolah
Tahun 1999/2000
Jenjang  Sekolah
Jumlah Guru
Negeri+
Swasta

Keterangan
Kualifikasi
Negeri
Swasta
Nominal
%
Nominal
%
SD
Layak
446.827
42,4
34.050
39,5
480.877
Data TK, SM, dan PT yang ada tak cukup utk membuat perbandingan antara negeri dan swasta

Tidak Layak
608.032
57,6
52.259
60,5
660.291

Jumlah SD
1054.859
100,0
86.269
100,0
1141.128
SLTP
Layak
169.921
59, 9
94.808
60,2
264.729

Tidak Layak
113.794
40,1
62.651
39,8
176.445

Jumlah SLTP
283.715
100,0
157.459
100,0
441.174
Sumber: Data diolah dari Pusat Statistik Pendidikan, 2001a dan Pusat Statistik Pendidikan, 2001b
Beberapa permasalahan lain yang tidak kurang pentingnya adalah adanya distribusi yang anomali (kurang normal) secara statistik yang dilihat dari perbandingan jumlah lembaga perguruan tinggi dengan jumlah mahasiswa terlihat secara konsisten pada pendidikan tinggi swasta baik perguruan tinggi swasta yang ada di Depdiknas maupun yang ada di Depag. Anomali yang lain adalah jumlah murid MA baik negeri maupun swasta mengalami perkembangan yang pantas untuk diteliti kembali mengingat bahwa dalam kurun waktu tersebut dimana MA negeri meningkat sebesar 225% sementara MA swasta meningkat sebesar 226% (lihat Tabel 5). Jumlah guru MA negeri mengalami fluktuasi serta cenderung untuk menurun, penurunan ini cukup signifikan (37%) tetapi sebaliknya jumlah guru MA swasta cenderung untuk meningkat secara konsisten, peningkatan sebesar 17% dari 1998/1999 ke 1999/2000.
3.3. Upaya Penanggulangan Masalah
Berdasarkan keadaan di atas, partisipasi masyarakat dan swasta adalah demikian besar akan tetapi aspek kualitas kontribusi masyarakat atau partisipasi swasta masih perlu ditingkatkan serta adanya kecenderungan yang terjadi dewasa ini di dalam dunia pendidikan (yaitu penerapan manajemen pendidikan yang lebih bersifat desentralistik). Salah satu pendekatan untuk melakukan upaya optimalisasi peranan swasta/masyarakat tersebut adalah pendekatan "manajemen berbasis sekolah" serta "manajemen berbasis masyarakat". Dengan pendekatan tersebut peran sekolah dan masyarakat dalam pelaksanaan pendidikan dapat dioptimalkan. Upaya ini juga sejalan dengan upaya pemerintah yang sedang melaksanakan perubahan sistem manajemen yang lebih bersifat desentralistik.
Pendekatan ini berupaya memperpendek jalur birokrasi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah sehingga dapat diharapkan perlakuan pemerintah terhadap sekolah negeri dan sekolah swasta menjadi relatif sama. Selain itu, dengan semakin pendeknya jalur birokrasi, kemungkinan terjadinya "kebocoran" akan dapat semakin dikurangi.
Pada dasarnya pendekatan ini mempunyai karakteristik bottom-up dengan anggapan bahwa aparat suatu daerah adalah yang paling mengetahui kondisi daerahnya (dibandingkan dengan aparat daerah lainnya atau bahkan petugas pusat sekalipun). Jelas, hal ini juga berlaku untuk sektor pendidikan di daerah. Selanjutnya, prinsip ini juga menuntut agar aparat Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota maupun sekolah untuk mempunyai kemampuan dalam mengidentifikasi masalah-masalah di lingkup kerjanya serta mampu mencari alternatif untuk menyelesaikan masalah tersebut. Kemampuan problem-solving, kepekaan terhadap masalah serta kemampuan mencari alternatif penyelesaian masalah, akan sangat bermanfaat dalam melaksanakan tugas-tugas manajerial di lingkup kerja masing-masing. Selain itu, kemampuan ini harus didukung oleh tersedianya data yang relevan. Kemampuan problem-solving serta tersedianya data yang akurat, tepat guna, dan tepat waktu ini merupakan dua syarat utama yang harus dimiliki petugas daerah maupun sekolah jika efisiensi pengelolaan pendidikan di kabupaten/kota dan di sekolah ingin ditingkatkan. Dalam jangka panjang, peningkatan kemampuan aparat daerah maupun sekolah dalam hal problem-solving serta mengelola dan memanfaatkan data dan informasi ini akan meningkatkan pula kemampuan mereka dalam mengambil keputusan sesuai dengan wewenang yang mereka miliki dan selanjutnya akan memperlancarnya upaya desentralisasi pendidikan di kabupaten/kota maupun di sekolah. Inilah yang dimaksud dengan desentralisasi dalam pengelolaan pendidikan di mana aparat daerah dan aparat pusat bekerja bersama-sama saling mengisi secara harmonis, sesuai dengan kemampuan serta kewenangan masing-masing. Pada hakekatnya di dalam pengelolaan pendidikan sistem sentralisasi dan sistem desentralisasi selalu bekerja bersama-sama untuk mencapai tujuan pendidikan yang dicita-citakan.
4. Simpulan dan Saran
Secara umum sumbangan sekolah swasta terhadap pengembangan pendidikan adalah besar walaupun kontribusi tersebut belum optimal. Kualitas sekolah menengah umum yang diukur berdasarkan NEM siswa serta kualitas lembaga pendidikan tinggi yang diukur berdasarkan proksi jumlah mahasiswa memperlihatkan bahwa kualitas lembaga pendidikan swasta memang memiliki kualitas yang sangat bervariasi. Salah satu cara yang mungkin dapat digunakan untuk mengoptimalkan peranan sekolah swasta adalah dengan meningkatkan kualitas sekolah-sekolah swasta. Berbagai upaya dalam peningkatan kualitas sekolah swasta yang mungkin dilakukan antara lain: 1) pendirian atau pembangunan sekolah swasta seharusnya berdasarkan "keperluan" atau "kebutuhan" masyarakat setempat dan bukan pada "keinginan" (apalagi keinginan pemerintah pusat); dan 2) kualitas manajemen sekolah swasta juga perlu ditingkatkan melalui peningkatan kompetensi dan kualitas guru, peningkatan kualitas sarana/ prasarana pendidikan, peningkatan perencanaan pendidikan (termasuk kurikulum dan evaluasi), keseimbangan anggaran antara sekolah negeri dan sekolah swasta yang proporsional, dan job description dari supervisi pendidikan perlu dideskripsikan lebih jelas.
Sejalan dengan upaya pemerintah yang sedang mengawali pelaksanaan sistem manajemen yang lebih bersifat desentralisasi, salah satu upaya untuk mengoptimalkan peranan swasta/masyarakat dalam pembangunan pendidikan adalah dengan menggunakan pendekatan "manajemen berbasis sekolah" serta "manajemen berbasis masyarakat."
Upaya Dirjen Pendidikan Tinggi Depdiknas untuk memberdayakan Kopertis dan PTS merupakan langkah yang sangat tepat dan strategis. Hal itu perlu didukung oleh semua pihak yang menghendaki partisipasi yang aktif dan konstruktif dari masyarakat dan pihak swasta khususnya, sehingga kemitraan negeri dan swasta dapat dicapai dengan optimal. Selain itu, upaya Pusat Statistik Pendidikan Balitbang Depdiknas untuk meningkatkan kualitas pendataan PTS diharapkan akan dapat menjadi pembuka jalan bagi upaya optimalisasi kemitraan negeri dan swasta.


Pustaka Acuan
-------- Keppres No. 34 Tahun 1972
-------- Inpres No.15 Tahun 1972
Beeby, C. E. 1979. "Assessment of Indonesian Education. A Guide in Planning". New Zealand Council for Educational Research and Oxford University Press, Wellington.
Chamidi, S. 1996 "Curriculum Management and Development in Indonesia with Special Reference to Mathematics in Senior Secondary School" Ph.D. Dissertation, Monash University, Melbourne.
Nawawi, H., dan Martini, M., 1994 "Kebijakan Pendidikan di Indonesia Ditinjau dari Sudut Hukum" Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
Pusat Statistik Pendidikan. 2001a "Guru SD yang Memiliki Kelayakan Mengajar", Pusat Statistik Pendidikan, Balitbang – Depdiknas, Jakarta.
Pusat Statistik Pendidikan. 2001b "Guru SLTP yang Memiliki Kelayakan dan Kesesuaian Mengajar", Pusat Statistik Pendidikan, Balitbang – Depdiknas, Jakarta.
Sigit, S. (1992) "Peranan dan Partisipasi Perguruan Swasta di Indonesia" PT Gramedia Widiasrana Indonesia, Jakarta.
Silaban, S., Suka, S. G., and Donald, P. 1993. "Pendidikan Indonesia. Dalam Pandangan Lima Belas Tokoh Pendidikan Swasta". Dasamedia Utama, Jakarta.
Suryadi, A dan Tilaar, H.A.R. 1994 "Analisis Kebijakan Pendidikan. Suatu Pengantar" PT. Remaja Rosda Karya, Bandung.
Thomas, R.M., and Soediyarto. 1980. "Political Style and Education Law in Indonesia". Asian Researchhttp://www.depdiknas.go.id/Jurnal/35/kontribusi_sekolah_swasta.htm Service, Hong Kong.
Pemantauan Tenaga Kependidikan TK, SD dan SDLB
Di Kabupaten Badung Propinsi Bali
 
Oleh : Subijanto
(Kepala Bidang proses belajar mengajar, Pusat penelitian Kebijakan, Balitbang Depdiknas)

Abstrak: Tujuan pemantauan ini adalah untuk memperoleh data dan informasi tentang: (a) keadaan guru dan pengawas di kabupaten Badung, (b) permasalahan yang dihadapi, serta (c) upaya pemecahan masalah.  Hasil pemantauan menunjukkan bahwa keadaan tenaga guru dan pengawas secara prinsip tidak ada masalah baik dari segi jumlah, kualifikasi pendidikan, pelaksanaan tugas dan rangkap jabatan.  Jumlah pengawas lebih dari memadai (rasio pengawas : sekolah = 1: 8, namun kualitas dan kuantitas supervisi yang dilakukan cenderung belum optimal.  Permasalahan yang dihadapi berkisar pada ketersediaan dokumen yang kurang lengkap dan akurat, rendahnya kualitas supervisi, keterbatasan tenaga administrasi dan guru dan pengawas yang berpendidikan TK/PLB, serta lemahnya koordinasi dengan instansi terkait.  Upaya penanggulangan masalah antara lain telah dilakukan koordinasi dengan unit terkait di lingkungan Pemda terutama dalam pemutakhiran data secara berkala, kualitas supervisi, alih fungsi tenaga honorer daerah untuk pemenuhan kebutuhan tenaga admnistrasi di TK/SD/SDLB.
Kata kunci : guru, pengawas, taman kanak-kanak; sekolah dasar, sekolah dasar luar biasa.


1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang dan Masalah
Dalam rangka pelaksanaan otonomi pendidikan, diperlukan-upaya upaya yang mengarah pada pemecahan masalah, khususnya yang berhubungan dengan guru dan pengawas TK/SD/SDLB yang terkoordinasi secara kolaboratif antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.  Dalam hal perencanaan sampai pengadaan tenaga kependidikan pada era sebelum otonomi daerah (otoda), pihak Depdiknas pusat berperan secara dominan.  Namun dalam hal penempatan, pihak Depdiknas daerah (kanwil) lebih memiliki otoritas.  Dengan mempertimbangkan pengalaman dan permasalahan pada era sebelum otoda, sinkronisasi antara perencanaan dan pengadaan serta pendistribusian tenaga kependidikan belum merata.  Terlepas dari keterbatasan kemampuan keuangan pemerintah pusat dalam mengangkat tenaga kependidikan, kekurangan guru merupakan masalah yang belum terselesaikan dengan tuntas.  Asumsi permasalahan yang mendasar adalah bagaimana upaya pemerintah daerah dalam menyelesaikan permasalahan tenaga kependidikan setelah pemberlakuan otoda.  Sampai sejauh mana permasalahan tersebut dikoordinasikan dengan berbagai instansi yang terkait.  Dengan mempertimbangkan implikasi berlakunya UU Nomor 25 Tahun 2000 tentang pembagian tugas dan wewenang pemerintah pusat dan daerah propinsi, dirasa perlu untuk memantau keadaan daerah khususnya yang berkaitan dengan pengadaan, pendayagunaan, dan pengembangan  tenaga kependidikan (guru dan pengawas) terutama di TK/SD/SDLB.

1.2 Tujuan
Secara umum tujuan pemantauan terhadap pengelolaan tenaga kependidikan adalah untuk memperoleh data dan informasi tentang manajemen pengelolaan guru dan pengawas TK, SD dan SDLB, masalah yang dihadapi serta alternatif upaya pemecahan yang telah dilakukan.  Secara khusus, pemantauan bertujuan untuk memperoleh data dan informasi tentang: (a) keadaan tenaga kependidikan di daerah kabupaten Badung, (b) permasalahan yang dihadapi, dan (c) upaya pemecahan masalah

1.3 Ruang Lingkup
Lingkup pemantauan manajemen tenaga kependidikan terbatas pada tenaga guru dan pengawas sekolah (TK/SD/SDLB).  Dalam pemantauan ini, aspek yang menjadi fokus perhatian adalah: (a) jumlah guru dan pengawas, (b) kualifikasi pendidikan guru dan pengawas, (c) peningkatan kualitas SDM, (d) kendala yang dihadapi serta (e) alternatif pemecahan yang telah ditanggulangi daerah

2. Kajian Literatur
2.1 Pengertian dan Pengelompokan Tenaga Kependidikan
Mengacu pada UU Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah (PP), pada BAB I tentang Ketentuan Umum, Pasal 1, ayat 7 menyebutkan bahwa tenaga kependidikan adalah anggota masyarakat yang mengabdikan diri dalam penyelenggaraan pendidikan (Depdikbud, 1997).  Selanjutnya, dinyatakan pada BAB VII tentang Tenaga Kependidikan, Pasal 27 ayat 1 bahwa Tenaga Kependidikan bertugas menyelenggarakan kegiatan mengajar, melatih, meneliti, mengembangkan, mengelola, dan/atau memberikan pelayanan teknis dalam bidang pendidikan.  Dalam hal pengelompokan jenis tenaga kependidikan, dengan jelas dinyatakan pada BAB dan Pasal yang sama ayat 2, dinyatakan bahwa Tenaga Kependidikan meliputi tenaga pendidik, pengelola satuan pendidikan, penilik, pengawas, peneliti, dan pengembang di bidang pendidikan, pustakawan, laboran, dan teknisi sumber belajar.  UU tersebut secara rinci mendefinisikan pengertian tenaga pendidik dan tenaga pengajar yang dapat disimak pada BAB I, Pasal 1 ayat 8 dan BAB VII Pasal 27 ayat 3, yaitu bahwa yang dimaksud dengan Tenaga Pendidik adalah anggota masyarakat yang bertugas membimbing, mengajar, dan/atau melatih peserta didik.  Tenaga Pengajar merupakan tenaga pendidik yang khusus diangkat dengan tugas untuk mengajar, yang pada jenjang pendidikan dasar dan menengah disebut guru dan pada jenjang pendidikan tinggi disebut dosen (Depdikbud, 1997).  Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kategori tenaga pendidik termasuk pengajar yaitu guru, dosen, pembimbing, dan pelatih. 
Lebih lanjut, Nyoman Dantes (1996) merinci jenis-jenis tenaga kependidikan sebagai berikut: (1) Tenaga pendidikan terdiri dari pengajar dan guru pembimbing atau penyuluh pendidikan termasuk widyaiswara dan pelatih tutor/fasilitator program pendidikan luar sekolah, (2) pengelola satuan pendidikan (kepala sekolah/wakil kepala sekolah, (3) penilik sekolah, (4) pengawas, (5) peneliti dan pengembang di bidang pendidikan, seperti pengembang program pengajaran (ahli kurikulum), pengembang alat pengukuran dan penilaian, dan pengembang media pengajaran, (6) pustakawan, dan (7) teknisi sumber belajar. 

2.2  Supervisi Kegiatan Belajar-Mengajar
Untuk mendapatkan tenaga kependidikan yang benar-benar handal dan profesional, R. Semiawan dalam Prayitno (1996) menyatakan bahwa hal itu merupakan suatu proses yang panjang.  Artinya, proses tersebut merupakan mata rantai dari perencanaan, pengadaan, pengangkatan, penempatan, promosi dan pembinaan karier, peningkatan kesejahteraan, dan sistem penghargaan terhadap tenaga kependidikan.  Seluruh mata rantai tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga aspek, yaitu (1) pengadaan (perencanaan dan pengadaan), (2) pendayagunaan (pengangkatan, penempatan, peningkatan kesejahteraan dan sistem penghargaan), serta (3) sistem pengembangan (promosi dan pembinaan karier).  Antara perencanaan dan pendayagunaan serta pengembangan harus saling terkait, saling mengisi dan saling menunjang serta terkoordinasi dengan baik.
Supervisi pendidikan erat kaitannya dengan proses bimbingan dan penyuluhan proses belajar-mengajar secara utuh, yaitu persiapan mengajar, pelaksanaan dan evaluasi kegiatan belajar-mengajar.  Hal tersebut dilakukan oleh kepala sekolah dan atau penilik/pengawas sekolah.  Permasalahan yang timbul adalah dalam melaksanakan supervisi yang bersangkutan belum sepenuhnya dapat melaksanakan tugas secara utuh.  Kunjungan atau supervisi kelas untuk memantau profesionalisme guru dalam kegiatan pembelajaran jarang dilakukan.  Hal tersebut dilakukan dengan alasan untuk menghindari kebebasan guru mengajar dan menghilangkan kesan psikologis bahwa guru kurang  mampu melaksanakan tugas pokoknya.  Dengan demikian, kepala sekolah/pengawas cenderung lebih sering tidak melakukan supervisi kelas.  Artinya, supervisi yang dilakukan lebih menekankan pada aspek administrasi persiapan mengajar jika dibandingkan dengan bimbingan dan penyuluhan KBM di kelas.  Pada era desentralisasi, dirasa perlu merumuskan paradigma baru bahwa pelaksanaan supervisi merupakan suatu kebijakan kendali mutu penyelenggaraan pendidikan.  Hal tersebut sejalan dengan pembagian kewenangan berdasarkan UU Nomor 22 Tahun 1999, khususnya pelaksanaan otoda bidang pendidikan.
Secara umum, supervisi pendidikan diarahkan pada pembinaan guru dan staf sekolah.  Kepala sekolah/pengawas berkewajiban untuk memberikan segala bantuan dalam bentuk bimbingan dan penyuluhan terhadap berbagai aspek dalam KBM sehingga tujuan pendidikan dapat dicapai secara optimal.  Lebih lanjut, M. Ngalim Purwanto (1987) menyatakan bahwa supervisi merupakan suatu aktivitas pembinaan yang direncanakan untuk membantu para guru dan staf sekolah lainnya agar dapat melakukan pekerjaan secara efektif.  Mengacu pada pengertian tersebut jelas bahwa supervisi bukan merupakan suatu aktivitas yang bernuansa mencari kesalahan guru maupun staf administrasi sekolah lainnya, melainkan membimbing, mengarahkan dan memberi petunjuk teknis dalam rangka meningkatkan profesionalisme melaksanakan tugas utamanya.
Asep Dedih (Suara Guru, No. 11 TH. L/2000) menambahkan bahwa idealnya supervisi merupakan kebijakan kendali mutu dalam upaya meningkatkan hasil pendidikan.  Dengan demikian, seorang penilik/pengawas hendaknya sanggup (a) meningkatkan kepemimpinan dan mengembangkan program sekolah serta memperkaya lingkup sekolah, (b) memajukan kondisi yang kondusif sehingga memungkinkan para penyelenggara pendidikan mampu merumuskan tujuan-tujuan program pendidikan dan mengoptimalkan sumber daya pendidikan yang ada serta menguatkan (empowering) potensi masyarakat di sekitarnya untuk meningkatkan mutu pendidikan, (c) memajukan iklim sekolah dan suasana yang kondusif sehingga para penyelenggara pendidikan merasa diterima dan dihargai sebagai pribadi dan anggota masyarakat.

2.3  Tinjauan Tentang Profesi dan Pendidikan
Secara bebas profesi dapat diartikan sebagai suatu pekerjaan atau jabatan sesuai dengan keahliannya (expertise).  Ini berarti suatu pekerjaan/jabatan yang harus dikerjakan oleh orang yang sudah terlatih/disiapkan untuk melakukan pekerjaan itu.  Menurut Schein dan Kommers dalam Nyoman Dentes (1996) merumuskan ciri-ciri profesi adalah (a)  profesi merupakan seperangkat keterampilan yang dikembangkan secara khusus melalui seperangkat norma yang dianggap cocok dalam suatu masyarakat, (b) seorang profesional dituntut untuk memiliki landasan pengetahuan dan keterampilan yang didapatkan dalam waktu yang panjang selama pendidikan dan pelatihan, dan (c) seorang profesional harus berorientasi pada usaha memberikan layanan ahli serta dituntut untuk dapat mengevaluasi unjuk kerjanya sebagai balikan bagi upaya peningkatan
Lebih lanjut, Nyoman Dentes (1996) menambahkan bahwa para ahli profesional di Indonesia merumuskan ciri-ciri utama profesi sebagai berikut: (a) memiliki fungsi dan signifikansi sosial yang crucial, (b) adanya tuntutan penguasaan keahlian/keterampilan sampai tingkatan tertentu, (c) memiliki perolehan keahlian/keterampilan tersebut bukan hanya dilakukan secara rutin, tetapi melalui pemecahan masalah atau penanganan situasi krisis melalui penggunaan metode ilmiah, (d) memiliki batang tubuh disiplin ilmu yang jelas, sistematis dan ekplisit, dan (e) penguasaan profesi membutuhkan masa pendidikan yang relatif lama, pada jenjang perguruan tinggi.
Menurut Encyclopedi Americana No. 28 dalam Nyoman Dentes (1996) menyebutkan bahwa profesi merupakan suatu jabatan atau pekerjaan profesional bila yang bersangkutan minimal mendapat pendidikan 1 tahun setelah SMA, dimana: (a) proses pendidikan yang ditempuh merupakan wahana bagi sosialisasi nilai-nilai profesional di kalangan siswa/mahasiswa yang mengikutinya, (b) dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat/klien seorang profesional berpegang teguh kepada kode etik, yang pelaksanannya dikontrol oleh organisasi profesi, dan setiap pelanggaran kode etik dapat dikenakan sangsi, (c) anggota suatu profesi mempunyai kebebasan untuk menetapkan judgement sendiri dalam menghadapi atau memecahkan sesuatu dalam lingkup kerjanya, (d) tanggung jawab profesional adalah komitmen kepada profesi berupa pelayanan sebaik-baiknya kepada masyarakat/klien dan praktik profesional itu otonom dari campur tangan pakar luar, dan (e) sebagai imbalan dari proses pendidikan dan latihannya yang lama dan komitmen pada seluruh jasa/pekerjaannya sehingga  seorang profesional mempunyai prestise yang tinggi di masyarakat dan oleh karenanya berhak mendapatkan imbalan yang layak.
Berdasarkan uraian di atas, hal mendasar yang semestinya dipahami berkaitan dengan profesi adalah kepedulian yang didasari atas kearifan atau pengabdian berdasarkan keahlian demi kemaslahatan orang lain.  Bertalian dengan ciri-ciri profesional tersebut, pertanyaan yang timbul adalah sudah optimalkah tenaga kependidikan dapat melaksanakan tugasnya sebagai profesi?

3.  Metodologi
3.1 Populasi dan Sampel
Populasi pemantauan pengelolaan tenaga kependidikan di wilayah Kabupaten Badung Propinsi Bali meliputi empat kecamatan.  Secara acak sampel lokasi terpilih adalah kecamatan Mengwi dan Kuta.  Waktu pemantauan dilaksanakan pada bulan Juni 2001 dengan komposisi responden seperti pada Tabel 1 berikut.

Tabel 1
Distribusi Sampel
No
Nama Instansi
Ã¥ Responden
1.
Kantor Dinas Pendidikan Kabupaten
1 orang
2.
Kantor Dinas Pendidikan Kecamatan
2 orang
3.
TK. Katolik Tegaljaya
2 orang
4.
SDN No. 8 Sempedi
2 orang
5.
SDN No. 9 Mengwi
2 orang
6.
SDN No. 1 Buduk
2 orang
7.
SDN No. 1 Kuta
2 orang
8.
SDLB B (Tuna Rungu) Kuta
3 orang

3.2 Instrumen dan Teknik Analisis Data
Instrumen yang digunakan dalam pemantauan adalah kuesioner yang diperuntukkan bagi: (a) kepala dinas pendidikan kabupaten, (b) kepala dinas pendidikan kecamatan, (c) kepala sekolah, dan (d) guru.  Data yang terkumpul diolah dengan cara tabulasi dan dianalisis dengan cara sederhana dalam bentuk deskripsi
4.  Hasil Pemantauan dan Bahasan
4.1  Keadaan Tenaga Kependidikan
4.1.1  Jumlah Guru dan Pengawas
Jumlah guru secara kumulatif relatif mencukupi, kekurangan guru yang dikemukakan hanyalah merupakan antisipasi menjelang pensiun serta adanya rencana beberapa sekolah akan membuka kelas paralel bagi siswa baru pada tahun ajaran 2001/2002.  Namun, fakta yang diperoleh menunjukkan bahwa di tingkat kecamatan masih ditemukan data yang tidak sesuai dengan data yang ada di tingkat kabupaten.  Ini berarti bahwa administrasi pendataan tenaga kependidikan kurang rapih dan selalu tertinggal dengan fakta yang ada.  Semestinya data yang ada selalu diperbaharui sesuai dengan data aktual sehingga lebih akurat.  Sekalipun demikian, informasi tentang kekurangan guru dapat ditanggulangi dengan menguatkan (empowering) guru yang ada.  Selanjutnya, jumlah guru di dua kecamatan dapat dilihat pada Tabel 2 berikut ini.

Tabel 2 
Jumlah Guru di Kecamatan Mengwi dan Kuta
No
Nama Institutusi
Lokasi
Jumlah
Kebutuhan
Kekurang-an
1.
TK
Kec. Mengwi
71
71
-
2.
SD/MI
Kec. Mengwi
477
516
39 *
3.
SDLB
Kec. Mengwi
-
-
-
4.
TK
Kec. Kuta
170
200
30**
5.
SD/MI
Kec. Kuta
813
858
45#
6.
SDLB
Kec. Kuta
31
68
37##
Catatan
* kekurangan guru SD/MI dihitung berdasarkan guru yang akan pensiun    pada akhir tahun 2001
**kekurangan guru TK berdasarkan kemampuan Yayasan mengangkat guru
#  kekurangan guru SD/MI  dihitung berdasarkan guru yang akan pensiun pada akhir tahun 2001
##  kekurangan guru SDLB berdasarkan guru bidang studi
         
            Jumlah pengawas di kecamatan Mengwi maupun Kuta masing-masing berlebihan.  Artinya, bahwa rasio setiap penilik terhadap tanggung jawab sekolah yang harus disupervisi rata-rata 1 : 8.  Ini berarti bahwa tugas minimal seorang pengawas untuk melakukan supervisi di setiap sekolah sangat ringan (persyaratan minimal 1 : 15 sekolah).  Adapun jumlah pengawas di masing-masing kecamatan dapat di lihat pada Tabel 3 berikut ini.

Tabel 3
Jumlah Pengawas di Kecamatan Mengwi 
No.
Ã¥ Pengawas yang ada
Ã¥ Kebutuhan Pengawas
Ã¥ Kekurangan Pengawas

TK/SD
SLB
TK/SD
SLB
TK/SD
SLB
1.
13*
0
10
0
0
0
2.
16**
0
14
2
0
2
 * Kelebihan Pengawas TK/SD sebanyak 3 orang (2 dari 3 orang pengawas pensiun akhir tahun 2001)
**Kelebihan Pengawas TK/SD sebanyak 2 orang, namun kekurangan Pengawas khusus SDLB sebanyak 2 orang.
             Secara kumulatif, jumlah penilik di Kecamatan Mengwi dan Kuta Kabupaten Badung mencukupi.  Hal ini terjadi karena pada bulan November 2000, pihak Kanwil Depdiknas setempat merekrut Penilik melalui kursus/pelatihan singkat bagi calon pengawas yang dapat diikuti oleh tidak hanya tenaga kependidikan, melainkan juga dari tenaga administrasi.  Dampak pendistribusian tenaga pengawas yang berasal dari tenaga admnistrasi melalui cara tersebut adalah kurang optimalnya pelaksanaan supervisi secara utuh.  Fakta menunjukkan bahwa pelaksanaan supervisi kelas jarang dilakukan dan atau bahkan tidak pernah dilakukan (terutama bagi Pengawas yang diangkat melalui program “CAWAS” (calon pengawas).  Ini terjadi karena penilik/pengawas tidak menguasai substansi materi pembelajaran.  Contohnya, seorang pengawas TK/SD/SLB yang tidak memiliki latar belakang pendidikan TK dan SLB, mereka tidak pernah melakukan supervisi kelas di TK dan SLB.  Hal ini terjadi karena yang bersangkutan tidak memiliki pengalaman dan keahlian di bidang TK dan SLB, akibatnya menghindar untuk melakukan supervisi kelas.  Supervisi hanya dilakukan secara bersama-sama (kolektif) di aula atau di ruang kerja kepala sekolah dan atau ruang kelompok kerja guru (KKG).  Lebih lanjut, kejadian di wilayah Kabupaten Badung pelaksanaan supervisi sangat berbeda bila dibandingkan dengan supervisi yang dilakukan oleh pengawas yang berasal dari kepala sekolah atau guru teladan.
            Selain itu, belum ada pengawas TK/SD/SLB yang memiliki latar belakang atau keahlian khusus di bidang Taman Kanak-Kanak dan Pendidikan Luar Biasa sesuai dengan jenis ketunaan masing-masing.  Diperoleh informasi bahwa seorang pengawas baru di Kecamatan Kuta (Slameto) yang memiliki latar belakang pendidikan luar biasa (PLB) akan tetapi tugasnya sebagai pengawas SD.  Kasus seperti ini disarankan agar yang bersangkutan diberdayakan sebagai penilik atau sebagai nara sumber di PLB.  Hal ini perlu mendapat perhatian secara serius, bertahap dan berkesinambungan sehingga tersedia tenaga pengawas yang menguasai bidang TK dan PLB.
            Pengawas TK/SD/SLB yang ada rata-rata hanya membawahi atau bertanggung jawab antara 8-9 sekolah.  Ini berarti bahwa tugas seorang pengawas jauh dari batas minimal yang ditentukan (minimal 15 sekolah).  Berdasarkan hasil wawancara dengan kepala sekolah, rata-rata kunjungan Pengawas ke sekolah cukup bervariasi.  Di TK dan SDLB misalnya, kunjungan Pengawas ke sekolah rata-rata hanya 2 kali/tahun, sedangkan kunjungan ke SD rata-rata 5 kali/tahun Satu-satunya SD yang menjawab lebih dari 6 kali/tahun hanyalah SDN 1 Kuta.   Hal tersebut cukup dapat diterima karena lokasi kantor Pengawas bersebelahan dengan lokasi SD tersebut.  Namun yang menjadi pertanyaan adalah sampai sejauhmana efektivitas kunjungan tersebut.  Nampaknya masih ada kecenderungan bahwa tugas supervisi pengawas ke sekolah lebih berorientasi pada kelengkapan administrasi jika dibandingkan dengan profesionalisme guru dalam merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi KBM.  Sewaktu pemantauan dilakukan, diperoleh data bahwa kualifikasi pendidikan pengawas rata-rata D2 dan ada sebagian yang telah mencapai S1.

4.1.2  Kualifikasi Pendidikan Guru dan Pengawas
Latar belakang pendidikan guru yang dirasa belum sesuai dengan kualifikasi pendidikan terjadi pada Taman Kanak-kanak, karena sebagian besar guru berlatar belakang pendidikan SPG.  Hanya ada sebagian kecil yang berlatar belakang pendidikan SGTK, sedangkan sisanya Sarjana Muda Pendidikan dan Sarjana Pendidikan Umum (Bimbingan Penyuluhan dan Bahasa Indonesia).  Kualifikasi untuk Pengawas, secara umum telah memenuhi syarat karena hampir semua Pengawas berasal dari kepala sekolah dasar (kecuali Pengawas yang baru diangkat).  Namun demikian, di kedua kecamatan tersebut belum ada satupun Pengawas yang memiliki latar belakang PLB, padahal di Kecamatan Kuta terdapat SDLB.  Hal ini menjadi permasalahan tersendiri manakala Pengawas melakukan supervisi ke SDLB, tidak akan mampu secara substansi memberikan supervisi tentang ke PLB an.  Di samping itu, pada jenis pendidikan sekolah dasar luar biasa, ditemukan guru berkualifikasi sarjana tetapi tidak sesuai dengan jenis ketunaan yang diselenggarakan di sekolah yang bersangkutan (perhatikan data guru SDLB B Jimbaran, Kuta).  Dalam kaitannya dengan pembinaan guru TK, telah diupayakan rencana terprogram, bagi guru TK yang memiliki latar belakang non TK diselenggarakan pelatihan khusus bidang Taman Kanak-kanak yang diselenggarakan oleh IGTKI dan atau GOPTI (kecuali guru yang baru diangkat).  Begitu pula bagi guru SDLB yang berlatar belakang pendidikan tidak sesuai dengan jenis ketunaan (B) telah dialihfungsikan sebagai guru bidang studi dan guru khusus.  Dalam rangka meningkatkan kualitas guru, saat ini masih ada beberapa guru yang sedang mengikuti program PGSD dan bahkan atas biaya sendiri ada yang melanjutkan program Strata 1, sedangkan yang melanjutkan program Strata 2 ke luar negeri saat pemantauan ini dilaksanakan sebanyak 1 orang.  (Berasal dari SDLB).

Tabel 4
Kualifikasi Pendidikan Guru TK dan SD di Kecamatan Mengwi dan Kuta
No
Jumlah Guru
Kualifikasi Pendidikan
Kecamatan Mengwi   
Kecamatan Kuta
TK             SD
    TK             SD         SDLB
1
SLTA/SPG/SGPLB/SGTK
29SGTK          193 SPG 30 SPG
     164            439 SPG     12 SGPLB                         43 SGO
                      46 PGA
2
D1
      0               4 PGSLP
       0               9 PGSLP             0
3
D2
      0                    155
       0                    0                     0
4
D3/Sarjana Muda
      0                      0
       1                  249                   0
5
S1
      0                    111
       4                    27                 13
6
S2
      0                      0
       0                    0                     0
7
S3
      0                      0
       1                    0                     0
Catatan di Kec. Mengwi tidak ada SDLB

4.1.3  Peningkatan Kualitas SDM
Kenaikan pangkat/golongan bagi guru, kepala sekolah dan pengawas dinyatakan cukup lancar dan menggembirakan (kecuali bagi guru yang diangkat sebagai kepala desa, untuk sementara diberhentikan kenaikan pangkat/golongannya karena sesuai aturan yang berlaku).  Hal itu terjadi di Kecamatan Mengwi (1 orang) dan di Kecamatan Kuta (2 orang).  Namun, agaknya persyaratan kenaikan pangkat/golongan bagi guru dan kepala sekolah adakalanya menimbulkan kesan secara psikologis “iri hati” bagi pengawas senior.  Hal ini terbukti bahwa dalam melaksanakan tugasnya, ada beberapa pengawas yang pangkat/golongannya lebih rendah dari golongan guru dan kepala sekolah yang dibimbingnya.  Dalam hal kenaikan pangkat/golongan, pada umumnya guru dan kepala sekolah mengalami kemandegan dari golongan IV/a ke IV/b.  Untuk mengupayakan kenaikan yang lebih tinggi diakui banyak kendala dari individu masing-masing yang berkaitan dengan salah satu persyaratan yaitu “karya ilmiah”.  Timbul usulan agar proses kenaikan golongan dari IV/a ke IV/b dapat lakukan sosialisasi dan pembinaan lebih lanjut secara intensif.  Hal ini sangat diperlukan untuk menambah motivasi dan kejelasan bagi yang bersangkutan untuk mengikuti aturan dan prosedur pengajuannya.  Dalam hal menjalankan tugasnya, guru, kepala sekolah, dan pengawas di wilayah Kecamatan Mengwi dan Kuta Kabupaten Badung tidak ada yang melanggar UU Kepegawaian maupun PP yang berkaitan dengan disiplin pegawai.  Di samping itu, tidak ada seorang guru, kepala sekolah maupun pengawas yang mempunyai tugas rangkap apalagi sebagai pengurus salah satu partai politik.  Dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah, pihak Pemerintah Daerah Kabupaten Badung semenjak bulan Januari 2001 telah memberikan insentif kepada setiap guru sebesar Rp 75. 000 per bulan.  Hal ini merupakan suatu hal yang menggembirakan karena insentif tersebut diberikan kepada guru negeri dan guru swasta.  Di sisi lain, hal tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan kinerja guru dan kepala sekolah agar dapat melaksanakan tugas secara optimal dan senantiasa mau dan mampu meningkatkan kualitas profesinya.

4.2  Permasalahan yang Dihadapi
Selama melaksanakan pemantauan tidak diperoleh data dan informasi yang dikategorikan sebagai kendala yang berarti.  Namun demikian, secara teknis dan psikologis ditemui beberapa kendala situasional yaitu: (1) data yang terkini (aktual) tidak tersedia dan tingkat akurasi data kurang lengkap, (2) responden dalam memberi data dan informasi kurang terbuka, terutama yang berkaitan dengan pelaksanaan supervisi kelas (bentuk, frekuensi, perlakuan, tindak lanjut) yang dilakukan oleh pengawas ke sekolah-sekolah, (3) terbatasnya bukti fisik laporan berkala hasil supervisi pengawas dan kepala sekolah sebagai bahan masukan perbaikan dan tindak lanjut program bimbingan dan penyuluhan pelaksanaan KBM, (4) pelaksanaan pemantauan bersamaan dengan pelaksanaan Ebtanas, sehingga konsentrasi interaktif dibatasi dengan waktu, (5) upaya nyata bentuk tindak lanjut hasil supervisi dari pengawas sulit didapatkan, sehingga  tidak diketahui apakah pelaksanaan supervisi efektif atau tidak.

4.3  Upaya yang Telah Dilaksanakan
Dalam menghadapi berbagai permasalahan pelaksanaan supervisi yang berhubungan dengan tugas tenaga kependidikan di kedua kecamatan, maka upaya yang telah dilaksanakan oleh Kantor Cabang Dinas Pendidikan adalah sebagai berikut.
Berkaitan dengan pemutakhiran data tentang tenaga kependidikan dan pengawas TK/SD/SDLB dalam setiap kurun waktu tertentu, pihak Kepala Kantor Cabang Dinas Pendidikan Kecamatan telah menginstruksikan agar kepala sekolah melaporkan setiap perubahan yang dialami setiap waktu.  Untuk memperlancar penyusunan laporan, maka diusulkan ke Pemda agar setiap sekolah mendapat tenaga administrasi (tata usaha).  Dalam program jangka menengah, pihak Cabang Dinas Pendidikan Kecamatan akan memprogramkan membeli komputer dan melatih staf untuk menangani pendataan tenaga kependidikan dan pengawas melalui pengelolaan sitem informasi (MIS).
Berkaitan dengan keterbukaan memberi informasi yang senyatanya perihal pelaksanaan supervisi kelas, dirasakan belum ada upaya pemecahan secara tepat sasaran.  Hal ini cenderung masih dianggap tabu oleh sebagaian besar guru karena menyangkut kondite tugas dan tanggung jawab pimpinan (baik kepala sekolah maupun pengawas).  Namun demikian, upaya yang sedang dirintis dan dikembangkan adalah setiap guru memiliki buku catatan supervisi sehingga dapat dipantau secara nyata perlakuan dari kepala sekolah maupun pengawas dalam melaksanakan supervisi terhadap bawahannya.  Diharapkan untuk program jangka panjang, dikembangkan sistem pengawas bidang studi, seperti yang sedang dikembangkan untuk tingkat SLTP dan SM di beberapa daerah kota propinsi.
Berkaitan dengan keterbatasan dokumen laporan berkala hasil supervisi, akan dikembangkan semacam “buku konsultasi” dimana setiap guru dan atau kepala sekolah memiliki buku catatan khusus tentang bentuk, frekuensi, saran tindak lanjut pelaksanaan supervisi.
Berkaitan dengan pelaksanaan ebtanas yang bersamaan dengan supervisi dari pusat, dinilainya merupakan kebetulan saja (insidental).  Diharapkan hal tersebut tidak terjadi lagi karena jelas mengganggu pelayanan dalam memberikan data informasi tentang ebtanas dan tenaga kependidikan serta pengawas secara bersamaan.  Di samping itu, semua guru bertugas mengawas ebtanas, sehingga terpaksa memberi layanan data dan informasi yang diperlukan pada saat istirahat dan atau setelah selesai pelaksanaan ebtanas (siang hari).  Hal ini jelas kurang efektif dan perlu persiapan untuk menyiapkan berbagai dokumen yang diperlukan sebelum pelaksanaan pemantauan.
Berkaitan dengan tindak lanjut hasil supervisi, kepala sekolah bersama guru merencanakan menindak lanjuti supervisi sekolah terlebih dahulu didiskusikan dengan sesama kolega dan diselesaikan pada waktu kegiatan guru dan kepala sekolah (guru di KKG dan kepala sekolah di KKS).
Selain upaya-upaya tersebut di atas, telah pula dilakukan untuk menampung animo peserta didik (murid baru) di beberapa SD, kepala sekolah dan guru merencanakan membuka kelas paralel dengan memanfaatkan guru dan ruang kelas yang ada.  Bagi guru TK yang tidak memiliki latar belakang kependidikan TK, diupayakan mengikuti program pelatihan tentang TK bekerjasama dengan IGTKI dan GOPTI, sehingga kualitas keprofesionalan guru meningkat.
Untuk meningkatkan motivasi guru dan kepala sekolah dalam hal kenaikan pangkat/golongan IV/a dilakukan pembinaan oleh Kepala Dinas Cabang Kabupaten setempat bersama dengan Pengawas secara terjadwal (triwulan).  Sesekali waktu memanggil nara sumber dari Kepala Dinas Propinsi atau guru/kepala SLTP/SMU setempat yang telah mencapai golongan IV/b untuk tukar pengalaman dan sekaligus membimbing guru yang sudah waktunya mengajukan kenaikan pangkat/golongan (terutama dalam menulis karya ilmiah dalam bentuk artikel maupun penelitian).  Hal ini terjadi di lingkungan SDLB Kuta.
Upaya untuk memperoleh tenaga perpustakaan, tata usaha sekolah, kekurangan guru, pergantian kepala sekolah, dan pengangkatan calon pengawas sekolah, pihak Kepala Kandep Diknas kecamatan dan kabupaten telah mengajukan permohonan kepada Pemda Kabupaten Badung.  Hasil sementara disepakati akan menempatkan tenaga honorer daerah ke sekolah-sekolah, terutama untuk tenaga tata usaha.
Sebagai upaya untuk meningkatkan semangat pengabdian dalam menjalankan tugas, pihak Pemda telah memberi insentif bulanan kepada semua guru TK/SD/SDLB negeri dan swasta sebesar Rp 75.000/bulan.

5. Simpulan dan Saran
5.1  Simpulan
Berdasarkan data yang diperoleh dan hasil wawancara dengan responden, maka dapat disimpulkan sebagai berikut.
Secara umum ketersediaan guru SD di wilayah Kecamatan Mengwi dan Kuta mencukupi untuk kebutuhan saat ini (akhir tahun 2001).  Prediksi kekurangan guru disebabkan karena beberapa SD telah merencanakan membuka kelas paralel bagi siswa baru (kelas 1) pada tahun ajaran baru serta beberapa guru memasuki masa pensiun.  Di sisi lain, di wilayah kecamatan Mengwi terjadi re-grouping SD, sehingga guru yang sekolahnya digabung merupakan cadangan untuk memenuhi kekurangan guru.
Dari aspek kelengkapan dokumen, secara administrasi laporan keadaan guru dan pengawas di kecamatan Kuta kurang lengkap, sehingga data yang diperoleh sebagian besar bukan merupakan data terkini (aktual).  Hal ini terjadi pula di kantor dinas Depdiknas Kabupaten Badung.  Dalam pelaksanaan supervisi, sebagain besar Pengawas tidak melakukan supervisi kelas, namun sebaliknya, supervisi cenderung dilakukan dalam hal-hal yang berkaitan dengan kelengkapan administrasi proses belajar-mengajar.  Pelaksanaan supervisi semacam ini dilakukan di ruang kepala sekolah dan atau di ruang KKG.
Dalam hal pengadaan pengawas, dilakukan melalui pelatihan Calon Pengawas (Cawas) tahun 2000, yang diikuti oleh para guru dan kepala sekolah.  Cara seperti ini dinilai kurang profesional.  Hal ini dikarenakan cawas bukan berasal dari guru atau kepala sekolah, namun diseleksi dari tenaga admnistrasi.  Implikasi tersebut menyebabkan supervisi kelas terhadap guru hampir tidak pernah dilakukan.  Hal ini terjadi karena Pengawas tidak menguasai substansi (materi yang berkaitan dengan TK, SD, dan SDLB).  Fakta menujukkan bahwa supervisi kelas oleh pengawas ke sekolah Taman Kanak-kanak (TK) dan Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB) relatif tidak pernah dilakukan, karena secara formal tidak ada pengawas yang memiliki latar belakang pendidikan TK dan PLB.
Dalam melakukan mutasi guru dan kepala sekolah, saran dan keberadaan pengawas kurang dipertimbangkan oleh pihak Cabang Dinas Pendidikan kecamatan dan Dinas Pendidikan kabupaten.  Harapan sebagian besar kepala sekolah dan guru menginginkan agar setiap sekolah dasar: (a) tersedia tenaga administrasi (Tata Usaha) untuk membantu tugas kepala sekolah, (b) tersedia tenaga dan ruang perpustakaan tersendiri, (c) pemerintah pusat (Depdiknas) di mohon meninjau kembali proses dan persyaratan kenaikan pangkat dan golongan bagi kepala sekolah dan guru, khususnya dari golongan IV/a ke IV/b, dan (d) disediakan minimal satu orang pengawas yang menguasai bidang TK dan SLB di setiap kecamatan, terutama bagi kecamatan  yang memiliki TK dan SDLB

5.2  Saran
Atas dasar permasalahan di lapangan, maka perlu dipikirkan upaya tindak lanjut dalam menyikapi kebutuhan khususnya dalam hal:
            Pemenuhan tenaga tambahan sebagai pelaksana “Tata Usaha” dan petugas Perpustakaan.  Untuk tenaga administrasi di SD dapat memanfaatkan tenaga HONDA (honorer daerah) yang menurut informasi cukup tersedia ( ± 3000 orang).  Pemenuhan tenaga pengawas, khususnya di bidang TK dan SLB, dapat mengangkat salah satu guru senior yang memiliki latar belakang PLB, sedangkan bagi pengawas yang pensiun dapat digantikan oleh kepala sekolah yang berkualitas (misalanya mantan guru teladan atau kepala sekolah yang berprestasi).
            Pemenuhan kekurangan guru yang tidak relevan dengan jenis ketunaan (SLB) serta guru kelas bagi SD yang memiliki kelas paralel dapat dilakukan dengan cara koordinasi dengan Kepala Cabang Dinas Pendidikan Kecamatan/Kabupaten dan Pemda
            Koordinasi antara kepala sekolah dengan kantor Dinas Pendidikan kabupaten dalam hal pendataan secara terpadu di wilayahnya dan antarkecamatan se kabupaten tentang kebutuhan guru akibat pensiun maupun karena sekolah membuka kelas paralel, dapat dilakukan dengan cara terencana, bertahap dan berkesinambungan.  Akurasi data tenaga kependidikan dan pengawas hendaknya dilakukan pendataan ulang secara berkala (tengah tahunan dan tahunan) sehingga akurasi data dapat dipertanggung jawabkan.
            Sarana prasarana (seperti gedung untuk Cabang Dinas Pendidikan kecamatan, buku pelajaran untuk sekolah perlu dilakukan bersama dengan “steake holder” dan dikonsultasikan dengan Pemda setempat.  Di sis lain, Kepala sekolah dan guru melakukan identifikasi berbagai permasalahan sekolah, menentukan skala prioritas masalah yang mendesak untuk segera dipecahkan bersama-sama dengan instansi yang terkait.  Untuk itu, kepala sekolah dibantu oleh guru secara bertahap dan berkesinambungan melakukan pendataan setiap terjadi perubahan, sehingga data yang ada sesuai dengan kondisi yang sebenarnya dan selalu up to date.
            Dalam upaya memecahkan dan atau menentukan alternatif pemecahan masalah dilakukan secara musyawarh dan mufakat dengan melibatkan berbagai komponen yang terkait (siswa, orang tua, tokoh masyarakat serta mengoptimalkan keberadaan BP3).  Untuk itu, perlu melakukan koordinasikan dengan Pengawas, Kepala Dinas Cabang Kecamatan dan Kabupaten

Pustaka Acuan

Asep Dedih. 2000. Supervisi Sebagai Kebijakan Kendali Mutu, Suara Guru, No. 11 TH. L/2000.
Deparetmen Pendidikan dan Kebudayaan. 1997. Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Republik Indonesia, Bidang Pendidikan dan Kebudayaan, Depdikbud, Jakarta.
Nyoman Dentes. 1996. Keterlaksanaan Profesionalisasi Tenaga Kependidikan (Suatu Kajian Situasional), Makalah disasjikan pada Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia III, di Ujung Pandang pada tanggal 4-7 Maret 1996.
Ngalim Purwanto. 1987. Evaluasi dan Supervisi Pendidikan, Fakultas Ilmu Pendidikan, Institut Keguruan dan Ilm,u Pendidikan, Jakarta.
Prayitno. 1996. Pemantapan Fungsi LPTK Dalam Pengembangan Ilmu, Sistem, dan Paraksis Pendidikan (Perluasan Misi dan Aktualisasi LPTK), Makalah Utama disampaikan pada Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia III di Ujung Pandang tanggal 4 –7 Maret 1998.
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 Tentang Otonomi Daerah n

[top]

0 komentar:

Posting Komentar