Registrasi

Form Registrasi
id $id_camber"?>
Username
Password
>
$msg1

Kamis, 19 Mei 2011

Menuju Pendidikan Masa Depan

Posted by www.hsanpulut.com on 06.54 | No comments

Menuju Pendidikan Hadap Masalah

Oleh : Hasan Masykur




Poule Freire dalam bukunya yang sangat provokatif, Pedadogy Of The Oppressed, mengemukakan adanya dua model pendidikan yaitu pendidikan gaya bank (the banking concept of education) dan pendidikan hadap masalah (problem posing education).
Metafor banking berasumsi bahwa ilmu pengetahuan adalah laksana uang yang bisa ditransfer dari orang satu kepada orang lain dalam proses belajar mengajar sebagian besar guru bertindak selaku pihak nasabah bank dan mahasiswa adalah buku taplus yang harus diisi. Para guru atau dosen lebih banyak tampil berperan sebagai subyek yang aktif, sedangkan murid atau mahasiswa adalah obyek yang pasif.
Pendidikan dan pengajaran dalam situasi demikian berlangsung secara naratif, dimana guru atau dosen memberikan informasi yang harus ditelan, diingat dan dihafal murid-mahasiswa agar ia bisa lulus kelak dalam ujian. Pelaksanaan pengajaran lebih beraksentuasi pada kegiatan menghafal secara mekanis dan mereproduksikan hafalan itu kembali diatas lembaran ujian. Pada hasil hafalan dan ingatan inilah kriteria penilaian prihal kelulusan dan keberhasilan murid dan mahasiswa, hanya bisa diacukan.
Pendeknya, metode belajar mengajar yang digunakan guru atau dosen cenderung bersifat informatif, indoktrinatif, monolog dan vertikal.
Sistem dan langgam pendidikan semacam itu pada gilirannya akan menghalangi lahirnya daya kreasi dan kritisisme intelektual murid-mahasiswa. Diujungnya, mereka tidak mampu untuk membaca realitas secara kritis-analitis sehingga dapat memberikan respon yang tepat. Dalam konsep  pendidikan bank yang disinggung diatas, murid atau mahasiswa dioreintasikan kemasa lampau daripada kemasa depan. Sikap sadar terhadap masa depan (futurism) tidak menjadi bagian integral dari proses belajar mengajar dilembaga pendidikan model ini.
Padahal hanya dengan sikap sadar terhadap masa kini dan depan itu, produk suatu lembaga pendidikan dapat lebih fungsional dalam masyarakat. Sebab, futurisme bertujuan untuk memperkuat kemampuan output suatu institusi pendidikan agar dapat mengantispasi dan mengadaptasikan diri dengan derap perubahan zaman.
Sebagai antipoda dari pendidikan banking adalah pendidikan hadap masalah (problem posing). Pola hubungan yang dirayakan dalam model yang kedua ini bukan monolog, melainkan dialog. Dalam konteks ini, kedudukan masing-masing menjadi equal, untuk menerima dan memberikan kritik, masukan konstruktif dan lain sebagainya. Sekolah atau kampus sebagai lembaga ilmiah, didalamnya berisikan interaksi dinamis antara guru dan murid. Berbeda dengan pendidikan gaya bank, guru dalam model yang terakhir ini hanya sebagai pemandu atau fasilitator.
Jika pola jalinan seperti ini tercapai, maka adanya penindasan, dan arogansi inteletual yang lazimnya terjadi dari guru ke murid atau dosen ke mahasiswa bisa dihindari. Hubungan mereka menjadi sangat dialogis atau saling berbagi (sharing) pengetahuan dan pengalaman.
Dus, kontak komunikasi antara mereka tampak lebih terbuka, obyektif dan sejauh mungkin menghindari munculnya pemutlakan (absolutisme). Yang dikembangkan dalam model pendidikan ini adalah hubungan simbiosis-mutualistik diatara mereka sendiri.
Dari sistem pendidikan yang kedua inilah diharapkan lahir sikap kritis, inovatif dan kreatif yang menghasilkan laku-laku pemahaman (acts of cognition) baik terhadap diri sendiri, sesama maupun lingkungannya. Murid atau mahasiswa tidak lagi menganggap dunia sebagai sesuatu yang bisu, teralienasi dari dirinya sendiri tetapi sebagai sesuatu yang hidup dan bagian dari eksistensialnya.
Pertanyaannya, apa relevansi dan signifikansinya pemikiran filsuf dan tokoh pendidikan berkebangsaan Brasil ini dengan pendidikan di Indonesia?. Dalam  tataran ini, sekurang-kurangnya ada dua hal yang bisa diajukan. Pertama, pemikiran itu dapat menjadi pangkal tolak untuk membuat refleksi terhadap situasi dan kondisi obyektif pendidikan pesantren kita saat ini. Kedua, gagasan tersebut bisa menjadi salah satu referensi untuk melabuhkan pembaharuan demi peningkatan mutu dan kualitas pendidikan pesantren.
Membaca problem-problem seperti yang dikemukakan diatas, maka sudah tiba saatnya melakukan perubahan sistem pendidikan kita. Untuk kepentingan itu, setidak-tidaknya ada empat langkah taktis-strategis yang harus menjadi daerah perhatian dan perlu mendapatkan penanganan segera dari para pengelola lembaga pendidikan.
Pertama, mengubah metode dan sistem pembelajaran di kampus yang tertutup, hirarkis, top-down, searah menjadi sistem dialogal, eksploratif, induktif dan multi arah. Yang dipentingkan dalam pelaksanaan pengajaran adalah bagaimana mengidentifikasi dan memecahkan masalah, belajar memahami fenomena-fenomena faktual dan ilmiyah dan lebih beroreintasi kepada proses berfikir yang benar daripada hasil.
Kedua, mahasiswa tidak bisa diperlakukan sekedar penerima dan disket penyimpan informasi dan data. Mereka harus diarahkan untuk menjadi pelaku aktif dalam merumuskan identitas diri sesuai dengan tantangan hari ini dan masa depan. Artinya, aspirasi pendidikan harus bertolak dari realitas yang ada dalam masyarakat. Oleh karena itu, materialisasi kurikulum pendidikan kita harus dikaitkan dengan tema-tema sosial yang hidup ditengah-tengah masyarakat.
Ketiga, pembalikan paradigma. Ilmu tidak dipandang sebagai barang jadi yang telah selesai—sehingga tugas guru adalah menyalurkan kepada peserta didik—melainkan sebagai sesuatu yang secara terus menerus digali dari bumi kehidupan. Ilmu tidak mengenal batas akhir sehingga suatu aktivitas akal dan budidaya logika yang tanpa batas, maka kebenaran ilmu dapat dicari secara bersama-sama antara guru dan murid atau mahasiswa dan dosen.
Dalam lanskap ini keduanya dapat duduk secara setara, tanpa ada yang mengklaim diri sebagai sumber kebenaran. Masing-masing harus betul-betul terlibat dalam proses pergumulan dan pembacaan terhadap kenyataan konkrit dilapangan. Dari pergumulan dan pembacaan koletif inilah diharapkan kahirnya ilmu dan teori baru.
Keempat, dalam kerangka menghadapi tantangan zaman yang semakin kompleks dan pelik, maka tujuan pendidikan yakni meningkatkan kualitas manusia agar bisa keluar dari pelbagai impase kehidupan seyogyanya perlu semakin diimplementasikan pada level praksis. Untuk kebutuhan ini, kampus atau sekolah sedini mungkin harus mempersiapkan para peserta didiknya untuk mampu berfikir kritis-analitis dalam suasana yang bebas dan demokratis.
Fokus perhatian yang sungguh-sungguh pada empat agenda pokok diatas diharapkan akan menggiring sistem pendidikan kita masuk kedalam pendidikan bentuk kedua, yakni problem posing education. Sebab, dalam suatu dunia yang mengarah pada perkampungan global, tak ada jalan lain kecuali pada akhirnya kampus harus berani mereformasi dan mengubah oreintasi pendidikannya, dari yang beku, tertutup, feodalistik kepada yang lebih memberi tempat pada sikap kritis, terbuka dan demokatis. [****]




[top]

Filed Under:

0 komentar:

Posting Komentar